Deregulasi adalah aturan/sistem (sistem yang mengatur) ,tindakan atau proses menghilangkan mengurangi segala aturan.
Apakah deregulasi baik atau buruk?
Adabaiknya ditangguhkan dulu debat pro dan kontra.Dari posisi pro : deregulasi secara keseluruhan (dan bukan selektif) merupakan sesuatu yang baik adanya.
Bila diringkas,deregulasi menunjuk kebijakan pemerintah mengurangi/meniadakan aturan administratif yang mengekang kebebasan gerak modal,barang dan jasa.Contoh-cotoh deregulasi:
• Pemerintah menderegulasi bidang ekspor untuk menambah devisa negara.
• Deregulasi dibidang perpajakan berupa penghematan pajak bagi perusahaan berarti meringankan biaya produksi perusahaan
• Deregulasi dibidang ekonomi/politik :omongan bahwa, pasar merupakan mekanisme alami bagi alokasi kesejahteraan adalah omongan naif.Untuk itu paket kebijakan yang menyangkut pengadaan modal perlu menerapkan strategi deregulasi selektif.misalnya,regulasi ketat dikenakan pada transaksi yag tidak menyangkut investasi jangka panjang .Sebaliknya deregulasi serikat buruh perlu dilakukan dengan fokus pada daya tawar dan independensi.
• Deregulasi di sektor telekomunikasi : seandainya pemerintah mendorong pemanfaatan teknologi telekomunikasi secara maksimal,akan bermunculan potensi-potensi usaha mikro yang berawal dari basis komunikasi,mulai dari pelayanan internet murah sampai pabrikasi peralatan komunikasi sederhana.
Dari tahun ke tahun deregulasi hanya membahas permasalahan di "atas" saja. Sementara akar permasalahan yang menyebabkan distorsi dan ekonomi biaya tinggi ekonomi RI belum tersentuh. Inikah deregulasi setengah hati? Atau hanya sekadar "gincu" menjelang Sidang CGI pada 11-17 Juli 1997 di Tokyo?
Walau terlambat tiga hari dari jadwal yang direncanakan, akhirnya pemerintah mengumumkan paket deregulasi 7 Juli 1997. Isinya: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi itu diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah. Namun, bidang otomotif dan kimia, tampaknya pemerintah belum mau "menyentuh" dalam deregulasi yang diumumkan oleh Menko Ekku, Salef Afif, bersama Menperindag Tungky Ariwibowo, Menkeu Mar'ie Muhammad, serta Gubernur Bank Sentral Soedrajad Djiwandono, di Jakarta.
Namun, pengumuman deregulasi masih seperti pengumuman deregulasi sebelumnya, disambut biasa saja dan tanpa arti sama sekali. Bahkan para pengamat memperkiran sentuhan-sentuhan deregulasi belum terlihat pada akar permasalahan, yang saat ini, banyak "melilit" perekonomian Indonesia. Seperti, masih adanya penguasaan sektor ekonomi oleh segelintir orang, tata niaga, serta adanya perlakuan istimewa kepada beberapa pelaku ekonomi.
Kalau pun ada "keran" yang dibuka, itu pun dinikmati oleh segelintir saja. Seperti yang terjadi pada paket deregulasi 3 Juni 1991, pemerintah membuka peluang impor kendaraan niaga kategori I (bobot di bawah 2 ton) hingga kategori V (bobot berat sama dengan bus Mercedes), tapi yang boleh mengimpor adalah agen tunggal dan perusahaan yang mendapatkan "status" importir yang ditunjuk.
Bahkan ada yang mengatakan deregulasi kali ini tidak ada apa-apanya dan masih sama dengan deregulasi sebelumnya. " Kalau hanya penurunan tarif, itu kan sudah rutin. Ada atau tidak penurunan tarif, hal itu memang sudah harus urun," kata Faisal H Basri, yang juga ketua JurusanStudi Pembangunan FE UI.
Tampaknya pengumuman deregulasi oleh banyak kalangan masih dinilai sebagai acara rutinitas dibandingkan dengan alasan ekonomis. Ini terlihat tidak adanya prioritas sektor dan komoditas yang dideregulasi. Dan karena itu paket kali ini dianggap sebagai "kosmetik" saja. Para pengamat melihat sentuhan deregulasi belum sampai kepada akar pokok ekonomi Indonesia. Padahal, hampir setiap tahun pemerintah melakukan deregulasi. Apa saja tindakan deregulasi itu? Berikut beberapa cacatan tentang deregulasi yang pernah dikeluarkan pemerintah dalam dekade 80-an dan 90-an:
Tahun 1983
Pemerintah mengeluarkan kebijakan deregulasi di sektor moneter, khususnya perbangkan, lewat kebijakan 1 Juni 1983. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
Tahun 1985
Pemerintah memberlakukan Inpres Nomor 4 Tahun 1985 yang mengalihkan tugas dan wewenang Ditjen Bea dan Cukai (BC) dalam pemeriksaan barang kepada surveyor asing SGS. Ini sama saja dengan pemerintah memberikan kepercayaan penuh kepada pihak asing (SGS) dalam memeriksa barang. Keluarnya Inpres Nomor 4, tak lain sebagai reaksi pemerintah atas penyalahgunaan wewenang oleh BC yang banyak diributkan oleh dunia usaha.
Tahun 1986
Lewat paket kebijakan 6 Mei (Pakem), pemerintah menghapus sertifikat ekspor (SE). SE merupakan fasilitas empuk yang banyak digunakan eksportir untuk memperoleh pengembalian bea masuk dan unsur subsidi, ini diberikan bersamaan dengan kredit ekspor.
Tahun 1987
Pemerintah mengeluarkan deregulasi 15 Januari 1987, tentang industri kendaraan bermotor, mesin industri, mesin listrik, dan tarif bea masuk. Untuk bea masuk, pemerintah memberikan keringanan bea terhadap barang-barang tertentu, seperti Tekstil, kapas, dan besi baja. Sedangkan untuk industri mesin pemerintah memberikan perlakuan kemudahan ijin usaha. Dan untuk industri kendaraan bermotor, pemerintah memberikan kemudahan perakitan kendaraan dan pembuatan dan perakitan bagian kendaraan bermotor.
Juni 1987
Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, lewat PP Nomor 13 Tahun 1987 dan Keppres Nomor 16. Kali ini pemerintah menyederhanakan perijinan investasi bidang pertambangan, pertanian, kesehatan dan perindustrian. Yang semula ada empat ijin investasi, setelah kebijakan itu hanya tinggal dua.
24 Desember 1987
Pemerintah kembali membuat kejutan dengan memberikan kemudahan dan kelonggaran berusaha. Dalam bidang penamanan modal, PMA diperlakukan sama dengan PMDN dalam hal kepemilikan saham. Untuk fasilitas keringanan bea masuk, semula hanya diberikan kepada barang tertentu, kini diberikan keringanan bea masuk untuk semua bidang usaha yang diijinkan. Untuk ekspor, pemerintah menghapus semua perijinan ekspor dan menggantinya dengan ijin usaha. Sementara perusahaan asing yang sudah berproduksi dan bisa ekspor, diijinkan untuk membeli hasil produksi perusahaan lain untuk di ekspor. Sedangkan bidang ekspor, PT Kratau Steel yang selama itu ditunjuk sebagai pelaksana 92 komoditi produk industri logam, dengan kebijakan baru hak impornya hanya tinggal 50 komoditi. Dan untuk bidang pariwisata yang semula ada 33 jenis ijin, dengan kebijakan Desember itu, dipotong tinggal dua ijin.
Tahun 1988
Inilah tahun booming dunia perbankan Indonesia. Bayangkan, hanya dengan modal Rp 10 milyar, seorang pengusaha punya pengalaman atau tidak sebagai bankir, sudah bisa mendirikan bank baru. Maka, tak pelak lagi berbagai macam bentuk dan nama bank baru bermunculan bagai jamur di musim hujan. Itulah salah satu bentuk kebijakan deregulasi 27 Oktober 1988, atau yang dikenal dengan sebutan Pakto 88. Tak hanya itu, bank asing yang semula hanya beroperasi di Jakarta, kini bisa merentangkan sayapnya ke daerah lain di luar Jakarta. Sementara untuk mendirikan bank perkreditan, modal yang disetor menurut Pakto 88, hanya Rp 50 juta seseorang sudah bisa punya bank BPR.
21 November 1988
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi, yang berisi pengikisan berbagai rintangan yang selama ini malang-melintang di sekitar arus distribusi barang dan angkutan laut, pemudahan distribusi arus barang produk pabrik-pabrik modal asing, penurunan bea masuk bahan baku plastik dari 30-60 persen menjadi lima persen. Lalu, terhadap kritikan monopoli PT Krakatau Steel, lewat paket November ini, pemerintah membabat 26 jenis tarif pos. Dengan penghapusan itu, pabrik-pabrik boleh impor besi baja untuk pengecoran, yang selama ini dikuasai oleh buatan pabrik baja di Cilegon itu.
Tahun 1990
Pemerintah membuat gebrakan di sektor moneter, khususnya perbankan, lewat Paket Januari 1990 (Pakjan 90), bank-bank umum wajib mengalokasikan 20 persen dari total kreditnya, kepada pengusaha lemah. Atau maksimal kredit yang diberikan kepada pengusaha lemah Rp 200 juta. Namun, dalam Pakjan 90 ini yang masuk kategori usaha lemah adalah usaha yang beraset maksimal Rp 600 juta.
Mei 1990
Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi yang menyangkut empat sektor pembangunan: industri, perdagangan, kesehatan, dan pertanian. Dari empat sektor yang disentuh deregulasi itu, sektor otomotif, impor gandum, kelapa sawit, dan bahan baku plastik belum masuk dalam cacatan deregulasi yang dinamai Pakmei 90 itu. Untuk bidang pertanian dibebaskan dari tata niaga atas komoditas pala, sayur-sayuran dari Sumetera Utara, tengkawang, kayu manis, serta kopi. Lalu untuk bidang perijinan, satu ijin peternakan berlaku untuk semua jenis ternak, beternak, pemotongan hewan, dan produksi hewan. Bidang kesehatan, terjadi penyerdehanaan ijin usaha untuk industri farmasi, perdagangan besar farmasi, apotek, industri obat, pendaftaran obat, tata niaga impor, dan bahan baku obat. Sementara untuk perdagangan terjadi pengurangan dan penambahan pos baru. Pengurangan terjadi dari 9.549 menjadi 9.250 pos tarif dan terdapat penambahan 387 pos baru.
Tahun 1991
Tampaknya bulan Juni, dijadikan bulan yang tepat untuk mengumumkan kebijakan-kebijakan pemerintah. Tak heran bila pada Juni 1991, pemerintah kembali "meluncurkan" serangkaian paket deregulasi bidang: investasi, industri, pertanian, perdagangan, dan keuangan. Inti dari deregulasi kali ini adalah pembabatan hak monopoli enam persero pemerintah (Pantja Niaga, Kertas Niaga, Dharma Niaga, Mega Eltra, Sarinah, dan Krakatau Steel. Khusus untuk baja, KS harus rela melepaskan 60 hak impornya kepada importir produsen. Sementara untuk makanan, buah-buahan, dan daging, pengencer di dalam negeri bebas mengimpor dari luar negeri. Namun, importir terkena bea masuk 20 persen. Untuk otomotif, pemerintah membuka keran impor kendaran niaga kategori I sampai V dan termasuk kendaraan serba guna (jip). Namun, yang boleh mengimpor hanyalah para agen tunggal dan importir yang ditunjuk (enam persero pemerintah). Bukti paling dramatis akibat deregulasi ini, adalah dibukanya keran impor kendaraan truk, harga truk anjlok.
Tahun 1992
Tanggal 6 Juli 1992, Pemerintah kembali mengeluarkan paket deregulasi di bidang investasi, perdagangan, keuangan, tenaga kerja, pertanahan, IMB dan UUG/HO. Berisi antara lain, mengijinkan HGU dan HGB oleh usaha patungan dalam rangka penanaman modal asing dalam jangka waktu 30 tahun. Keputusan lainnya dari deregulasi yang dinamakan Pakjul itu, pembebasan tata niaga terhadap 241 pos tarif. Terdiri atas 226 pos tarif mengenai batik, 12 pos tarif pertanian, 1 pos tarif air mineral, 1 pos tarif produk logam, dan 1 pos tarif transformator listrik. Untuk bea masuk hanya diberikan kepada 36 pos tarif besi baja. Sementara untuk impor mesin bukan baru hanya dapat diimpor oleh perusahaan sendiri atau industri rekondisi. Mengenai tenaga kerja asing, dengan deregulasi itu, untuk memperoleh ijin tidak perlu ada rekomendasi dari departemen teknis.
Tahun 1993
Sektor moneter kembali disentuh melalui deregulasi Mei 1993 (Pakmei 93). Lewat Pakmei, capital adequency ratio (CAR) atau rasio kecukupan modal diperlonggar. Dengan peningkatan CAR, bank dipastikan akan lebih leluasa memberikan kredit. Pemerintah juga menyederhanakan ketentuan loan deposit ratio (LDR) atau pemberian kredit kepada pihak ketiga. Dengan ketentuan ini bank hanya diberikan 20 persen untuk menyalaurkan kredit kepada grupnya sendiri.Yang menarik dari kebijakan ini, KUK dibawah Rp 25 juta dapat digunakan untuk kegiatan tidak produktif.
10 Juni 1993
Pemerintah kembali "menggebrak" lewat paket deregulasi di bidang otomotif. Sejumlah bea masuk yang dianggap menghambat pengembangan industri otomotif, dipangkas. Untuk kategori sedan, jika kandungan lokal telah mencapai 60 persen maka akan dikenakan bea masuk nol persen. Pick-up, minibus, dengan kandungan lokal 40 persen akan dikenakan bea masuk nol persen. Sedangkan untuk truk, bus, dan sepeda motor, masing-masing akan dikenakan nol persen jika mencapai kandungan lokal lebih dari 30 dan 40 persen. Pemerintah juga membuka keran impor kendaraan bermotor dalam bentuk utuh (build-up) dari negara lain. Jika kendaraan impor sudah dirakit di dalam negeri maka pemerintah akan mengenakan bea masuk 200 persen. Sedangankan yang belum pernah dirakit di dalam negeri pemerintah mengenakan 300 persen bea masuk. Selain otomotif pemerintah juga membuat kejutan dengan menarik tepung terigu dari daftar negatif investasi (DNI). Dengan begini, investor yang berminat di tepung terigu punya peluang untuk membangun pabriknya.
Tahun 1994
Lewat PP Nomor 20 Tahun 1994, pemerintah membuka pintu lebar-lebar kepada PMA untuk "menabur" duitnya disegala bidang dan sektor ekonomi. Bahkan sektor yang yang banyak berhubungan dengan hajat hidup orang banyak terbuka 95 persen bagi PMA. Dalam patungan membangun perusahaan dengan mitra lokal, sebelum PMA hanya diberikan 45 persen saham, dengan PP itu, PMA bisa menguasai 95 persen saham. Mungkin inilah satu-satunya deregulasi yang membuat Menteri Penerangan Harmoko, marah. Pasalnya, ia merasa tidak diajak konsultasi guna penyusunan PP tersebut. Maklum saja, PP Nomor 20 dinilai banyak bertentangan dengan UU Pokok Pers Tahun 1982. Belakangan beleid mengenai PMA ini dikoreksi, sehingga ada beberap sektor yang "haram" dimasuki oleh PMA. Ya, bidang pers salah satunya.
Tahun 1995
Dengan kebijakan yang dinamaan Paket Mei 1995 (Pakmei 95), pemerintah mengeluarkan paket deregulasi atas lima bagian : tarif bea masuk dan masuk tambahan, tata niaga impor, penaman modal, perijinan, restrukturisasi usaha, dan entrepot produsen tujuan ekspor serta kawasan berikat. Dalam tarif, terjadi penurunan 6.030 dari 9.408 pos tarif. Pemerintah juga menghapus bea masuk tambahan terhadap 95 produk, merubah tata niaga dan kontrol terhadap 81 produk. Dalam Pakmei ini, penurunan tarif bea masuk akan diturunkan secara bertahap.
Tahun 1996
26 Januari 1996, Pemerintah mengeluarkan paket deregulasi, untuk bidang industri, perdagangan, dan keuangan. Makna deregulasi kali ini masih tidak bergeser dari deregulasi sebelumnya, yaitu penurunan bea masuk. Selain itu diberikannya fasilitas perpajakan guna meningkatkan ekspor non migas.
4 Juni 1996
Pemerintah kembali mengeluarkan 11 langkah kebijakan deregulasi. Meliputi : (1) penjadwalan penurunan tarif bea masuk, (2) perubahan tarif bea masuk barang modal, (3) penghapausan bea masuk tambahan, (4) penyederhaan tata niaga impor, (5) ketentuan anti-dumping, (6) kemudahan ekspor, (7) kemudahan layanan eksportir tertentu untuk bidang tertentu, (8) penyederhanan perijinan industri di kawasan industri, (9) peneyelenggaran temapt penimbunan, (10) kelonggaran kegiatan ekspor-impor bagi perusahaan PMA manufaktur, (11) penyerdahanaan prosedur impor limbah untuk bahan baku industri. Untuk penurunan tarif bea masuk, telah ditrunkan sebanyak 1.497 pos tarif dari 7.288 pos tarif.
Dalam rangka menghadapi praktek anti-dumping dan melindungi industri dalam negeri, pemerintah memberlakukan PP tentang bea masuk anti dumping dan bea masuk imbalan. Untuk itu pemerintah membentuk Komite Anti Dumpaing Indonesia (KADI). Sementara untuk mendorong ekspor, pemerintah menghapus kewajiban penggunaan PEB dari Rp 10 juta menjadi Rp 100 juta. Pemerintah juga menyederhanakan perijinan kawasan berikat. Bagi perusahaan yang telah bermukim di kawasan industri tidak diwajibkan memiliki perijinan selama memperoleh persetujuan PMA dari presiden , atau dari BKPM untuk PMDN.
Tahun 1997
Inilah deregulasi yang oleh banyak kalangan dinilai sudah kehilangan momentumnya. Karena, deregulasi kali ini adalah deregulasi tertunda yang seharusnya bulan lalu diumumkan. Isi paket deregulasi: pemangkasan 1.600 pos tarif bea masuk untuk berbagai produk sektor pertanian, perdagangan dan kesehatan. Deregulasi yang dikeluarkan 7 Juli 1997 itu, diikuti juga dengan peraturan pemerintah (PP) mengenai penerimaan pajak dan retribusi daerah, dan pembatasan pemberian kredit oleh bank untuk pengadaan dan pengolahan tanah
Penurunan tarif terbesar terjadi pada produk industri sebanyak 1.461 pos tarif, pertanian 136 pos tarif, dan kesehatan tiga pos tarif. Jumlah pos tarif sebanyak 7.261 sebelum tahun 1997, dan setelah deregulasi jumlah pos tarif masih sama. Perubahannya, hanya pada pos tarif rendah jumlahnya bertambah, terutama untuk pos tarif 20 persen hingga nol persen. Sementara sebelum deregulasi, jumlah pos tarif tinggi masih banyak. Dengan pertambahan bea masuk rendah dan berkurangnya pos tarif tinggi, maka pos tarif rata-rata tidak tertimbang mengalami penurunan dari 13,0 persen menjadi 11,9 persen.
Dalam paket Juli ini, untuk bidang impor, pemerintah memberlakukan ketentuan impor gula kasar, yang sebelumnya dikuasai oleh Badan Urusan Logistik (Bulog), kini dapat dilakukan oleh importir produsen. Importir dalam hal ini, adalah pabrik gula yang menggunakan bahan baku gula kasar untuk produksinya. Selain itu, pemerintah juga membuka impor kapal bekas tanpa ada batasan kuoto. dengan ketentuan selama kapal bekas masih layak pakai.
Untuk bidang ekspor, pemerintah menaikkan nilai pemberitahuan ekspor barang (PEB) yang sebelumnya Rp 100 juta naik menjadi Rp 300 juta. Dalam ketentuan baru ini, para pengusaha kecil dan menengah yang sebelum harus melapor jika akan mengekspor barang dengan nilai di atas Rp 100 juta, kini, mengekspor barang hingga Rp 300 juta tanpa PEB.
Sementara untuk perusahaan bukan penanaman modal, yang sebelumnya tidak mendapat fasilitas pembebasan bea masuk, seperti penanaman modal asing (PMA) dan penanaman modal dalam negeri (PMDN), kini mendapatkan fasilitas yang sama. Kebijakan pemberian fasilitas pembebasan bea masuk untuk bebas bea atas impor barang modal dan bahan baku, untuk keperluan selama dua tahun.
Sedangkan untuk pajak dan retribusi daerah, sebagai pelaksanan UU Nomor 18 Tahun 1997, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah (PP) Nomor 19 Tahun 1997, tentang pajak daerah dan PP Nomor 20 Tahun 1997, tentang retribusi daerah, guna penyederhanakan kedua pungutan tersebut. Kini dengan adanya UU, pajak daerah yang sebelum sebanyak 42 jenis, kini tinggal 9 jenis. Sedangkan untuk retribusi daerah dari 192 jenis menjadi 30 jenis. Selain itu, sebagai pelaksanaan dari UU Nomor 20 Tahun 1997, tentang penerimaan negara bukan pajak (PNBP), pemerintah mengeluarkan PP Nomor 22 Tahun 1997, yang mengatur semua penerimaan negara bukan pajak harus disetorkan ke kas negara.
Dalam PP Nomor 22, disebutkan ada tujuh jenis penerimaan negara bukan pajak di semua departemen dan lembaga non departemen. Antara lain, penerimaaan kembali anggaran (sisa anggaran rutin dan pembangunan), penerimaan hasil penjualan barang milik negara, hasil penyewaan barang milik negara, penerimaan hasil jasa giro uang negara, penerimaan ganti rugi atas kerugian negara, penerimaan denda keterlambatan penyelesaian pekerjaan pemerintah, dan penerimaan dari hasil penjualan dokumen lelang. Selain itu, PP Nomor 22 juga mengatur semua jenis penerimaan negara bukan pajak di seluruh departemen dan lembaga non departemen.
Pemerintah juga membuka pintu kepada swasta untuk mendirikan balai lelang dalam bentuk perusahaan terbatas (PT). Bahkan swasta nasional diberikan kesempatan untuk berpatungan mendirikan balai lelang dengan pihak asing.
Di bidang moneter, khususnya perbankan, pemerintah melarang bank umum untuk memberikan kredit baru untuk pengadaan dan pengolahan lahan. Dengan kata lain, bank-bank tidak diperkenankan memberikan kredit kepada pengembang untuk membuka lahan baru. Kecuali untuk pengadaan rumah sederahana (RS) dan sangat sederhana (RSS).
Sementara impor minyak kelapa sawit mentah untuk bahan baku minyak goreng, yang semula dikenakan pajak ekspor sebesar 10-12 persen, kini dengan ketentuan baru pemerintah menurunkan jadi lima persen.
Analisa : Dapat kita tarik kesimpulan bahwa pemerintah melakukan deregulasi perbankan dari 1987-1997 sudah pasti bertujuan untuk memperbaiki sistem perekonomian di Indonesia khususnya di bidang perbangkan. Kita tahu bahwa pada awalnya tercipta sistem perekonomian di Indonesia masih berkiblat pada sistem kolonial Belanda, diharapkan dengan adanya deregulasi ini bisa terbebas dari sistem tersebut.Deregulasi sempat memberikan hasil positif contahnya, kemudahan pendirian bank baru, meningkatkan efektivitas instrumen pasar uang, serta mendorong peralihan dari tingkat suku bunga dan nilai tukar yang tetap (fixed) ke tingkat yang mengambang (floating). Akibat deregulasi itu, hanya dalam waktu dua tahun muncul 73 bank baru dan 301 kantor cabang baru.Namun, banyak sekali akibat dari deregulasi ini seperti, Dalam tempo singkat, tiba-tiba pinjaman luar negeri perbankan meningkat tajam akibat melemahnya nilai tukar. Pada saat bersamaan, banyak pula perusahaan yang utangnya menjadi berlipat ganda sehingga kreditnya di bank pun menjadi macet.
Perbankan makin kesulitan tatkala masyarakat mulai berbondong-bondong menarik dananya dari perbankan akibat kepercayaan yang makin hilang dan situasi yang semakin tidak menentu. Perbankan kesulitan likuiditas.
Bank Indonesia pun mengeluarkan kebijakan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) untuk menolong perbankan. Bank yang tidak bisa ditolong terpaksa dilikuidasi. Selanjutnya, pemerintah juga membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) untuk merestrukturisasi perbankan yang kala itu umumnya sangat kekurangan modal dengan NPL yang sangat besar.
Pemerintah mengeluarkan obligasi rekapitalisasi untuk menambal modal bank. Untuk menutup biaya restrukturisasi yang mencapai Rp 600 triliun, bank-bank yang telah direstrukturisasi pun dijual ke asing. Seiring dengan berjalannya waktu bank-bank secara bertahap mulai membenahi tata kelola dan manajemen risiko perbankan.Dan dengan berbagai langkah yang telah dilakukan, kondisi makro-ekonomi yang lebih kondusif, kinerja industri perbankan pun berangsur-angsur pulih.
Sumber :www.google.com
Kamis, 07 Oktober 2010
Cara koperasi mengahadapi pasar global ( Globalisasi Ekonomi )
CARA KOPERASI MENGHADAPI PASAR GLOBAL( GLOBALISASI EKONOMI )
Pemberlakuan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai efektif awal 2010 ini membuat pelaku bisnis, demikian pula penggiat koperasi, beserta berbagai pihak mengkhawatirkan pemberlakuan ACFTA membuat industri dan suplai domestik tersingkir karena serbuan produk luar, khususnya China..
Berkaitan dengan itu, gerakan koperasi membutuhkan masukan baru guna melakukan revitalisasi daya saing, seiring dengan proses reformasi gerakan koperasi dalam sepuluh tahun terakhir ini, serta tantangan aktual yang dihadapi yakni kehadiran ACFTA sebagai sebuah simbol dari tatanan sistem ekonomi baru.
Koperasi harus memiliki ketahanan Internal berupa sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan kompeten untuk memanfaatkan peluang yang tercipta melalui pasar bebas ASEAN-Cina (ACFTA). Beberapa peluang yang tercipta dari ACFTA adalah kawasan dengan 1,7 miliar konsumen, produk domestik bruto (PDB) negara anggota yang mencapai 2 triilun dolar AS, dan total perdagangan tahunan yang mencapai 1,23 triliun dolar AS. Peluang lain yang tidak kalah pentingnya adalah tujuh ribu kategori komoditas bebas bea yang bisa mengurangi biaya operasional. Hal ini harus dimanfaatkan oleh koperasi secara maksimal.
Sementara Prof Dr Yuyun Wirasasmita MSc mengungkapkan, kinerja koperasi di berbagai Negara sedang dihadapkan kepada berbagai masalah, sehingga kemampuan bersaing koperasi semakin melemah. Pertumbuhan yang relative rendah bahkan kemunduran terutama di rasakan koperasi konsumsi. Hal ini disebabkan, persaingan yang semakin tajam. Disamping karena pengelola koperasi tidak memiliki konsep pengembangan strategis dalam merespon persaingan dan pasar yang berkembang dengan cepat.
Kesiapan koperasi menghadapi persaingan dan merespon pasar ini dihadapkan berbagai masalah diantaranya kelambanan koperasi untuk merger sehingga banyak duplikasi fungsi dan jenis koperasi yang kecil dan tidak efisien. Kedua, kekurangmampuan pengelola koperasi untuk memanfaatkan kaidah-kaidah koperasi untuk meraih keunggulan kompetitif atau sering disebut kekurangan semangat kewirausahaan dalam perkoperasian.
Yuyun mengatakan, dalam kewirausahaan ada pandangan yakni bagaimana mengubah tantangan menjadi peluang yang tentu memerlukan kreativitas. “Melaksanakan kaidah-kaidah koperasi berarti membangkitkan kembali semangat dan jiwa kewirakoperasian/ efisien koperasi yaitu keunggulan bersaing dalam melayani kebutuhan anggota dan memanfaatkan peluang-leuang baru,”katanya.
Kewirausahaan dengan melaksanakan kebijakan biaya rendah dan sekaligus kebijakan diferensiasi/ keunikan produk sehingga menciptakan manfaat bagi anggota telah menjadi kaidah koperasi. Koperasi sebagai lembaga ekonomi telah didesain untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut dan untuk itu perlu restrukturisasi perkoperasian.
Demokrasi Ekonomi Melalui Koperasi Rakyat
Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan.
Secara operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi, inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
Kiprah Koperasi di Berbagai Negara
Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti yang diharapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi. Ada beberapa contoh untuk lebih meyakinkan bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) dalam sistem ekonomi.
Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya.
Di Indonesia, menurut sumber Dekopin, terdapat sekitar 116.000 unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian nasional akan sangat signifikan.
Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s bank, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula.
Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002).
Contoh lain adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi.
Strategi Pemberdayaan Koperasi
Mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi, terutama koperasi di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi. yaitu antara lain:
1) Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ‘tiga serangkai’ koperasi, yaitu pengertian koperasi, nilai-nilai koperasi dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (International Co-operative Information Centre, 1996). Pemahaman akan jati diri koperasi merupakan poin penting dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi. Aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi, seperti kritik yang pernah dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya oleh Baga (2003).
2) Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk.
3) Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.
4) Kegiatan (usaha) koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.
5) Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.
Sumber
diskumkm.jabarprov.go.id/index.php?
www.majalah-koperasi.com
Pemberlakuan Asean-China Free Trade Agreement (ACFTA) yang mulai efektif awal 2010 ini membuat pelaku bisnis, demikian pula penggiat koperasi, beserta berbagai pihak mengkhawatirkan pemberlakuan ACFTA membuat industri dan suplai domestik tersingkir karena serbuan produk luar, khususnya China..
Berkaitan dengan itu, gerakan koperasi membutuhkan masukan baru guna melakukan revitalisasi daya saing, seiring dengan proses reformasi gerakan koperasi dalam sepuluh tahun terakhir ini, serta tantangan aktual yang dihadapi yakni kehadiran ACFTA sebagai sebuah simbol dari tatanan sistem ekonomi baru.
Koperasi harus memiliki ketahanan Internal berupa sumber daya manusia (SDM) yang tangguh dan kompeten untuk memanfaatkan peluang yang tercipta melalui pasar bebas ASEAN-Cina (ACFTA). Beberapa peluang yang tercipta dari ACFTA adalah kawasan dengan 1,7 miliar konsumen, produk domestik bruto (PDB) negara anggota yang mencapai 2 triilun dolar AS, dan total perdagangan tahunan yang mencapai 1,23 triliun dolar AS. Peluang lain yang tidak kalah pentingnya adalah tujuh ribu kategori komoditas bebas bea yang bisa mengurangi biaya operasional. Hal ini harus dimanfaatkan oleh koperasi secara maksimal.
Sementara Prof Dr Yuyun Wirasasmita MSc mengungkapkan, kinerja koperasi di berbagai Negara sedang dihadapkan kepada berbagai masalah, sehingga kemampuan bersaing koperasi semakin melemah. Pertumbuhan yang relative rendah bahkan kemunduran terutama di rasakan koperasi konsumsi. Hal ini disebabkan, persaingan yang semakin tajam. Disamping karena pengelola koperasi tidak memiliki konsep pengembangan strategis dalam merespon persaingan dan pasar yang berkembang dengan cepat.
Kesiapan koperasi menghadapi persaingan dan merespon pasar ini dihadapkan berbagai masalah diantaranya kelambanan koperasi untuk merger sehingga banyak duplikasi fungsi dan jenis koperasi yang kecil dan tidak efisien. Kedua, kekurangmampuan pengelola koperasi untuk memanfaatkan kaidah-kaidah koperasi untuk meraih keunggulan kompetitif atau sering disebut kekurangan semangat kewirausahaan dalam perkoperasian.
Yuyun mengatakan, dalam kewirausahaan ada pandangan yakni bagaimana mengubah tantangan menjadi peluang yang tentu memerlukan kreativitas. “Melaksanakan kaidah-kaidah koperasi berarti membangkitkan kembali semangat dan jiwa kewirakoperasian/ efisien koperasi yaitu keunggulan bersaing dalam melayani kebutuhan anggota dan memanfaatkan peluang-leuang baru,”katanya.
Kewirausahaan dengan melaksanakan kebijakan biaya rendah dan sekaligus kebijakan diferensiasi/ keunikan produk sehingga menciptakan manfaat bagi anggota telah menjadi kaidah koperasi. Koperasi sebagai lembaga ekonomi telah didesain untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut dan untuk itu perlu restrukturisasi perkoperasian.
Demokrasi Ekonomi Melalui Koperasi Rakyat
Dalam konteks ekonomi kerakyatan atau demokrasi ekonomi, kegiatan produksi dan konsumsi dilakukan oleh semua warga masyarakat dan untuk warga masyarakat, sedangkan pengelolaannya dibawah pimpinan dan pengawasan anggota masyarakat sendiri (Mubyarto, 2002). Prinsip demokrasi ekonomi tersebut hanya dapat diimplementasikan dalam wadah koperasi yang berasaskan kekeluargaan.
Secara operasional, jika koperasi menjadi lebih berdaya, maka kegiatan produksi dan konsumsi yang jika dikerjakan sendiri-sendiri tidak akan berhasil, maka melalui koperasi yang telah mendapatkan mandat dari anggota-anggotanya hal tersebut dapat dilakukan dengan lebih berhasil. Dengan kata lain, kepentingan ekonomi rakyat, terutama kelompok masyarakat yang berada pada aras ekonomi kelas bawah (misalnya petani, nelayan, pedagang kaki lima) akan relatif lebih mudah diperjuangkan kepentingan ekonominya melalui wadah koperasi, inilah sesungguhnya yang menjadi latar belakang pentingnya pemberdayaan koperasi.
Kiprah Koperasi di Berbagai Negara
Secara obyektif disadari bahwa disamping ada koperasi yang sukses dan mampu meningkatkan kesejahteraan anggotanya, terdapat pula koperasi di Indonesia (bahkan mungkin jauh lebih banyak kuantitasnya) yang kinerjanya belum seperti yang diharapkan. Koperasi pada kategori kedua inilah yang memberi beban psikis dan juga ‘trauma’ bagi sebagian kalangan akan manfaat berkoperasi. Ada beberapa contoh untuk lebih meyakinkan bahwa sesungguhnya sistem koperasi mampu untuk mengelola usaha dengan baik, menyejahterakan anggotanya dan sekaligus berfungsi sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power) dalam sistem ekonomi.
Koperasi di Jerman, misalnya, telah memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian bangsa, sebagaimana halnya koperasi-koperasi di negara-negara skandinavia. Koperasi konsumen di beberapa negara maju, misalnya Singapura, Jepang, Kanada dan Finlandia mampu menjadi pesaing terkuat perusahaan raksasa ritel asing yang mencoba masuk ke negara tersebut (Mutis, 2003). Bahkan di beberapa negara maju tersebut, mereka berusaha untuk mengarahkan perusahaannya agar berbentuk koperasi. Dengan membangun perusahaan yang berbentuk koperasi diharapkan masyarakat setempat mempunyai peluang besar untuk memanfaatkan potensi dan asset ekonomi yang ada di daerahnya.
Di Indonesia, menurut sumber Dekopin, terdapat sekitar 116.000 unit koperasi (Kompas, 2004). Ini adalah suatu jumlah yang sangat besar dan potensial untuk dikembangkan. Seandainya dari jumlah tersebut terdapat 20-30% saja yang kinerjanya bagus, tentu peran koperasi bagi perekonomian nasional akan sangat signifikan.
Sementara itu di Amerika Serikat jumlah anggota koperasi kredit (credit union) mencapai sekitar 80 juta orang dengan rerata simpanannya 3000 dollar (Mutis, 2001). Di Negara Paman Sam ini koperasi kredit berperan penting terutama di lingkungan industri, misalnya dalam pemantauan kepemilikan saham karyawan dan menyalurkan gaji karyawan. Begitu pentingnya peran koperasi kredit ini sehingga para buruh di Amerika Serikat dan Kanada sering memberikan julukan koperasi kredit sebagai people’s bank, yang dimiliki oleh anggota dan memberikan layanan kepada anggotanya pula.
Di Jepang, koperasi menjadi wadah perekonomian pedesaan yang berbasis pertanian. Peran koperasi di pedesaan Jepang telah menggantikan fungsi bank sehingga koperasi sering disebut pula sebagai ‘bank rakyat’ karena koperasi tersebut beroperasi dengan menerapkan sistem perbankan (Rahardjo, 2002).
Contoh lain adalah perdagangan bunga di Belanda. Mayoritas perdagangan bunga disana digerakkan oleh koperasi bunga yang dimiliki oleh para petani setempat. Juga Koperasi Sunkis di California (AS) yang mensuplai bahan dasar untuk pabrik Coca Cola, sehingga pabrik tersebut tidak perlu membuat kebun sendiri. Dengan demikian pabrik Coca Cola cukup membeli sunkis dari Koperasi Sunkis yang dimiliki oleh para petani sunkis (Mutis, 2001). Di Indonesia, banyak juga kita jumpai koperasi yang berhasil, misalnya GKBI yang bergerak dalam bidang usaha batik, KOPTI yang bergerak dalam bidang usaha tahu dan tempe (Krisnamurthi, 2002), Koperasi Wanita Setia Bhakti Wanita di Surabaya, dan KOSUDGAMA di Yogyakarta untuk jenis koperasi yang berbasis di perguruan tinggi, dan masih banyak contoh lagi.
Strategi Pemberdayaan Koperasi
Mengkaji kisah sukses dari berbagai koperasi, terutama koperasi di Indonesia, kiranya dapat disarikan beberapa faktor kunci dalam pengembangan dan pemberdayaan koperasi. yaitu antara lain:
1) Pemahaman pengurus dan anggota akan jati diri koperasi (co-operative identity) yang antara lain dicitrakan oleh pengetahuan mereka terhadap ‘tiga serangkai’ koperasi, yaitu pengertian koperasi, nilai-nilai koperasi dan prinsip-prinsip gerakan koperasi (International Co-operative Information Centre, 1996). Pemahaman akan jati diri koperasi merupakan poin penting dalam mengimplementasikan jati diri tersebut pada segala aktifitas koperasi. Aparatur pemerintah terutama departemen yang membidangi masalah koperasi perlu pula untuk memahami secara utuh dan mendalam mengenai perkoperasian, sehingga komentar yang dilontarkan oleh pejabat tidak terkesan kurang memahami akar persoalan koperasi, seperti kritik yang pernah dilontarkan oleh berbagai kalangan, diantaranya oleh Baga (2003).
2) Dalam menjalankan usahanya, pengurus koperasi harus mampu mengidentifikasi kebutuhan kolektif anggotanya dan memenuhi kebutuhan tersebut. Proses untuk menemukan kebutuhan kolektif anggota sifatnya kondisional dan lokal spesifik. Dengan mempertimbangkan aspirasi anggota-anggotanya, sangat dimungkinkan kebutuhan kolektif setiap koperasi berbeda-beda. Misalnya di suatu kawasan sentra produksi komoditas pertanian (buah-buahan) bisa saja didirikan koperasi. Kehadiran lembaga koperasi yang didirikan oleh dan untuk anggota akan memperlancar proses produksinya, misalnya dengan menyediakan input produksi, memberikan bimbingan teknis produksi, pembukuan usaha, pengemasan dan pemasaran produk.
3) Kesungguhan kerja pengurus dan karyawan dalam mengelola koperasi. Disamping kerja keras, figur pengurus koperasi hendaknya dipilih orang yang amanah, jujur serta transparan.
4) Kegiatan (usaha) koperasi bersinergi dengan aktifitas usaha anggotanya.
5) Adanya efektifitas biaya transaksi antara koperasi dengan anggotanya sehingga biaya tersebut lebih kecil jika dibandingkan biaya transaksi yang dibebankan oleh lembaga non-koperasi.
Sumber
diskumkm.jabarprov.go.id/index.php?
www.majalah-koperasi.com
Selasa, 05 Oktober 2010
Koperasi
Jika saya menjadi Presiden nanti, saya akan lebih memajukan Koperasi yang ada di negeri ini. Cara yang akan saya lakukan untuk memajukan Koperasi yaitu dengan cara
Pertama
Saya akan menjelaskan arti pentingnya koperasi kepada masyarakat agar masyarakat tertarik untuk ikut bergabung dalam koperasi- koperasi yang ada di lingkungan pekerjaan maupun lingkungan masyarakat sekitar. Setelah masyarakat ikut bergabung di dalam koperasi saya menjamin masyarakat akan lebih merasakan manfaat mengikuti koperasi daripada tidak mengikuti koperasi.
Manfaat yang dirasakan masyarakat ketika bergabung dalam koperasi diantaranya yaitu yang pertama ketika seseorang sedang membutuhkan uang secara mendesak,orang tersebut dapat meminjam ke koperasi yang orang tersebut ikuti. Disini peran koperasi termasuk dalam kelompok koperasi simpan pinjam.
Manfaat koperasi yang kedua yaitu orang dapat lebih bersosialisasi denagn masyarakat lainnya. Karena asas koperasi disini adalah kekeluargaan. Oleh karena itu, di dalam koperasi ini kita harus saling membantu satu sama lain jika ada yang membutuhkan.
Manfaat yang ketiga, di dalam kopersai itu ada yang namanya pembagian Sisa Hasil Usaha ( SHU ).
modal koperasi terdiri atas modal sendiri dan modal pinjaman.
Modal sendiri meliputi sumber modal sebagai berikut:
Simpanan Pokok
Simpanan pokok adalah sejumlah uang yang wajib dibayarkan oleh anggota kepada koperasi pada saat masuk menjadi anggota. Simpanan pokok tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota koperasi. Simpanan pokok jumlahnya sama untuk setiap anggota.
Simpanan Wajib
Simpanan wajib adalah jumlah simpanan tertentu yang harus dibayarkan oleh anggota kepada koperasi dalam waktu tertentu, misalnya tiap bulan dengan jumlah simpanan yang sama untuk setiap bulannya. Simpanan wajib tidak dapat diambil kembali selama yang bersangkutan masih menjadi anggota koperasi.
Simpanan khusus/lain-lain misalnya:Simpanan sukarela (simpanan yang dapat diambil kapan saja), dan Deposito Berjangka.
Dana Cadangan
Dana cadangan adalah sejumlah uang yang diperoleh dari penyisihan Sisa Hasil usaha, yang dimaksudkan untuk pemupukan modal sendiri, pembagian kepada anggota yang keluar dari keanggotaan koperasi, dan untuk menutup kerugian koperasi bila diperlukan.
Hibah
Hibah adalah sejumlah uang yang dapat dinilai dengan uang yang diterima dari pihak lain yang bersifat hibah/pemberian dan tidak mengikat.
Modal pinjaman koperasi berasal dari :
Anggota dan calon anggota
Koperasi lainnya
Bank dan Lembaga keuangan bukan banklembaga keuangan lainnya
Kedua
Saya akan membangun koperasi- koperasi,bukan hanya di daerah perkotaan saja tetapi di daerah pedesaan juga akan dibangun koperasi. Agar masyarakat pedesaan juga dapat mengenal koperasi dan dapat tertarik untuk mengikuti kegiatan di koperasi. Dan juga agar masyarakat pedesaan dapat juga menikmati manfaat yang didapat jika mengikuti koperasi.
Mekanisme pendirian koperasi terdiri dari beberapa tahap. Pertama-tama adalah
pengumpulan anggota, karena untuk menjalankan koperasi membutuhkan minimal 20
anggota. Kedua, Para anggota tersebut akan mengadakan rapat anggota, untuk melakukan pemilihan pengurus koperasi ( ketua, sekertaris, dan bendahara ). Setelah itu, koperasi tersebut harus merencanakan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga koperasi itu.
Lalu meminta perizinan dari negara. Barulah bisa menjalankan koperasi dengan baik dan benar.
Ketiga
Koperasi tidak tergantung pada bangunannya, maksudnya untuk mendirikan suatu kelompok koperasi tidak harus menggunakan sebuah bangunan yang khusus digunakan untuk kegiatan koperasi tersebut. Yang terpenting disini adalah kegiatannya. Disini juga harus tetap dibentuk kepengurusan diantaranya ketua, sekretaris dan bendahara. Untuk melakukan kegiatannyabisa dimana saja sesuai keinginan anggota – anggotanya. Bisa saja kegiatannya dapat dilakukan di salah satu rumah anggota.
Pengurus koperasi dipilih dari kalangan dan oleh anggota dalam suatu rapat anggota. Ada kalanya rapat anggota tersebut tidak berhasil memilih seluruh anggota Pengurus dari kalangan anggota sendiri. Hal demikian umpamanya terjadi jika calon-calon yang berasal dari kalangan-kalangan anggota sendiri tidak memiliki kesanggupan yang diperlukan untuk memimpin koperasi yang bersangkupan, sedangkan ternyata bahwa yang dapat memenuhi syarat-syarat ialahmereka yang bukan anggota atau belum anggota koperasi (mungkin sudah turut dilayani oleh koperasi akan tetapi resminya belum meminta menjadi anggota). Dalam hal dapatlah diterima pengecualian itu dimana yang bukan anggota dapat dipilih menjadi anggota pengurus koperasi.
Rapat Anggota
Rapat anggota adalah wadah aspirasi anggota dan pemegang kekuasaan tertinggi dalam koperasi. Sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, maka segala kebijakan yang berlaku dalam koperasi harus melewati persetujuan rapat anggota terlebih dahulu, termasuk pemilihan, pengangkatan dan pemberhentian personalia pengurus dan pengawas.
Pengurus
Pengurus adalah badan yang dibentuk oleh rapat anggota dan disertai dan diserahi mandat untuk melaksanakan kepemimpinan koperasi, baik dibidang organisasi maupun usaha. Anggota pengurus dipilih dari dan oleh anggota koperasi dalam rapat anggota. Dalam
menjalankan tugasnya, pengurus bertanggung jawab terhadap rapat anggota. Atas persetujuan rapat anggota pengurus dapat mengangkat manajer untuk mengelola koperasi. Namun pengurus tetap bertanggung jawab pada rapat anggota.
Pengawas
Pengawas adalah suatu badan yang dibentuk untuk melaksanakan pengawasan terhadap kinerja pengurus. Anggota pengawas dipilih oleh anggota koperasi di rapat anggota. Dalam pelaksanaannya, pengawas berhak mendapatkan setiap laporan pengurus, tetapi merahasiakannya kepada pihak ketiga. Pengawas bertanggung jawab kepada rapat anggota.
Langganan:
Postingan (Atom)